JAKARTA, GESANEWS.ID – Pemerintah Ukraina menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, dalam acara IISS Shangri-La Dialogue di Singapura.
Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov, menyatakan bahwa proposal perdamaian yang diajukan oleh Prabowo merugikan negaranya.
“Proposal ini terdengar seperti rencana Rusia, bukan rencana Indonesia. Kami tidak membutuhkan mediator dengan rencana aneh ini,” kata Reznikov seperti dikutip oleh media Ukraina, Ukrinform.
Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, menyebut sikap Ukraina yang menolak proposal perdamaian dari Prabowo adalah hal yang wajar. Menurutnya, proposal tersebut tidak masuk akal.
“Mengapa proposal yang diajukan oleh Pak Prabowo langsung ditolak oleh Ukraina dan negara-negara Barat? Karena proposal tersebut tidak masuk akal, tidak mempertimbangkan kondisi saat ini di lapangan, tidak memperhatikan konteks sejarah dan politik di kawasan Eropa Timur, serta tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sendiri,” ujar Radityo seperti yang dikutip dari akun Twitter-nya, @RadityoDharmaP.
Radityo menjelaskan bahwa Prabowo mengusulkan lima hal, yaitu gencatan senjata, penarikan mundur pasukan Rusia dan Ukraina sejauh 15 kilometer dari posisi serangan masing-masing, pembuatan Zona Demiliterisasi (DMZ) di wilayah antara pasukan Rusia dan Ukraina, penugasan pasukan penjaga perdamaian dan pemantau PBB, serta referendum di wilayah sengketa.
Namun, Radityo menilai gencatan senjata hanya sebagai usulan semata. Tidak ada jaminan bahwa Rusia tidak akan terus menyerang. “Sejak awal perang, sudah ada banyak upaya gencatan senjata, terutama oleh Turki. Namun, tidak ada hasil yang signifikan!” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa penarikan mundur pasukan sejauh 15 kilometer dan pembentukan DMZ sudah terlambat dilakukan. Ukraina saat ini memiliki keunggulan dalam situasi konflik. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja menyatakan bahwa Ukraina siap melakukan serangan balik terhadap Rusia. Oleh karena itu, permintaan untuk berhenti dan mundur tidak masuk akal bagi Ukraina, tetapi hal ini masuk akal bagi Rusia yang sedang menghadapi krisis di wilayahnya sendiri.
Selain itu, Radityo mempertanyakan posisi DMZ yang didasarkan pada posisi serangan. Jika diasumsikan bahwa serangan terjadi di Belgorod dan merupakan serangan balik, maka sebagian wilayah DMZ akan berada di wilayah Rusia. Jika tidak, maka seluruh wilayah DMZ akan berada di wilayah Ukraina.